Dalam beberapa tahun terakhir, langit di atas kita telah berubah secara dramatis. Bukan karena cuaca dingin atau fenomena alam, melainkan karena lonjakan luar biasa dalam jumlah satelit buatan manusia yang mengorbit Bumi.


Jika dulunya luar angkasa adalah ruang luas dan sepi, kini kawasan tersebut mulai dipadati oleh satelit-satelit, terutama yang diluncurkan oleh perusahaan swasta demi layanan komunikasi dan internet global.


Fenomena ini membawa kemajuan, tapi di sisi lain, menghadirkan potensi bahaya besar bagi masa depan eksplorasi antariksa dan penelitian ilmiah. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?


Lonjakan Peluncuran Satelit: Dari Langit Kosong ke Orbit Padat


Perkembangan teknologi peluncuran satelit kini membuat prosesnya jauh lebih cepat dan murah dibandingkan dekade sebelumnya. Berdasarkan data resmi dari Kantor PBB untuk Urusan Antariksa (UNOOSA), sejak era antariksa dimulai, lebih dari 11.000 satelit telah meluncur ke luar angkasa hingga April 2021. Yang mengejutkan, hampir 4.000 di antaranya masih aktif beroperasi.


Peningkatan ini didorong oleh misi ambisius dari perusahaan swasta seperti SpaceX dengan proyek Starlink, yang telah menempatkan lebih dari 2.000 satelit hanya dalam beberapa tahun. Tak mau ketinggalan, perusahaan lain seperti OneWeb dan Amazon juga merancang jaringan satelit dalam jumlah ribuan.


Konstelasi satelit ini memang menjanjikan akses internet ke seluruh penjuru dunia, termasuk daerah terpencil. Namun, konsekuensi dari kepadatan ini tidak bisa dianggap remeh.


Bukan Hanya Satelit, Sampah Antariksa Ikut Menumpuk


Tak hanya satelit aktif yang mengisi orbit, ruang di sekitar Bumi kini juga dipenuhi sampah antariksa, berupa bagian roket yang sudah tak terpakai, pecahan satelit yang rusak, dan bahkan serpihan kecil yang nyaris tak terlihat. Semua objek ini melaju dengan kecepatan sangat tinggi, mencapai puluhan ribu kilometer per jam.


Menurut lembaga pemantau antariksa Amerika Serikat, lebih dari 20.000 objek berukuran lebih dari 10 sentimeter kini mengelilingi Bumi. Yang lebih mengkhawatirkan, jumlah partikel kecil yang tidak bisa dipantau secara akurat mungkin mencapai jutaan.


Setiap tabrakan, sekecil apapun, bisa menghasilkan lebih banyak serpihan, menciptakan efek berantai yang disebut Kessler Syndrome. Jika fenomena ini terjadi dalam skala besar, kita berisiko kehilangan kemampuan untuk menggunakan orbit Bumi dengan aman dalam jangka panjang.


Penelitian Ilmiah Terancam, Teleskop & ISS Jadi Korban


Kepadatan orbit tak hanya berisiko menimbulkan kecelakaan. Penelitian ilmiah pun turut terganggu. Salah satu contohnya adalah Teleskop Hubble, yang telah lama menjadi andalan para astronom dunia. Kini, sekitar 8% citra yang diambil Hubble terganggu oleh lintasan satelit yang melintas di depannya.


Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) pun berada dalam zona yang rentan, yakni sekitar 400 kilometer di atas permukaan Bumi, wilayah yang kini makin ramai oleh lalu lintas satelit dari berbagai perusahaan.


Ancaman terhadap keselamatan astronaut, gangguan terhadap eksperimen di luar angkasa, serta potensi rusaknya instrumen ilmiah membuat para ilmuwan menyuarakan keprihatinan mereka secara global.


Regulasi Tertinggal, Orbit Semakin Kritis


Sayangnya, regulasi dan hukum internasional terkait penggunaan orbit belum berkembang secepat teknologi peluncuran satelit. Hingga kini belum ada kesepakatan global yang benar-benar mengatur jumlah satelit atau penanganan sampah antariksa secara menyeluruh.


Meski beberapa panduan dari PBB telah dibuat, implementasi nyata masih lambat. Padahal, waktu terus berjalan dan orbit semakin padat dari hari ke hari. Jika tidak ada penanganan serius, aktivitas luar angkasa bisa berubah menjadi ladang risiko yang mengancam kelangsungan seluruh ekosistem antariksa.


Masa Depan Antariksa: Kolaborasi atau Kekacauan?


Dunia kini menghadapi pilihan penting: apakah kita akan bekerja sama untuk menjaga keamanan orbit, atau terus membiarkan antariksa menjadi area tanpa aturan yang rawan bahaya? Perusahaan dari berbagai negara, termasuk dari Tiongkok, Eropa, hingga Amerika, terus menambah jumlah satelitnya. Tanpa koordinasi dan kebijakan yang kuat, bukan tidak mungkin masa depan antariksa justru suram.


Diperlukan teknologi yang mampu memantau dan membersihkan orbit, sistem manajemen lalu lintas satelit yang efektif, serta kesepakatan antarnegara untuk menjaga ruang di atas kita tetap aman dan berkelanjutan.


Pertumbuhan teknologi luar angkasa membuka banyak peluang, tetapi juga membawa tantangan serius. Orbit Bumi yang dulu sunyi kini mulai penuh sesak. Tanpa pengelolaan yang cermat, semua manfaat yang kita harapkan dari luar angkasa bisa berubah menjadi bahaya yang tak terkendali.


Masa depan eksplorasi antariksa bergantung pada langkah yang kita ambil hari ini. Jika dunia bisa bersatu dalam menjaga langit, maka luar angkasa akan tetap menjadi tempat yang penuh harapan dan penemuan baru, bukan zona berbahaya yang tak bisa dijelajahi lagi.