Di era teknologi saat ini, kecerdasan buatan (AI) sering dipandang sebagai kekuatan yang akan membebaskan kita dari tugas-tugas yang membosankan dan memberikan lebih banyak waktu untuk kegiatan yang lebih bernilai.


Seperti halnya mesin cuci piring atau pengolah kata, berbagai inovasi telah mengubah hidup kita dengan mengurangi pekerjaan fisik, sambil menawarkan lebih banyak peluang untuk belajar, berkreasi, dan membangun hubungan. Namun, pertanyaan yang muncul adalah: Bisakah AI menggantikan aktivitas fundamental seperti membaca? Dan, apakah itu seharusnya dilakukan?


AI dan Janji Efisiensi


Seiring dengan kemampuan AI yang semakin berkembang, kita semakin dihadapkan pada ide untuk mengotomatiskan bahkan kegiatan intelektual dan personal. Sebuah pernyataan dari pengusaha dan juri "Shark Tank", Davie Fogarty, memicu perdebatan ketika ia mengklaim bahwa “membaca buku kini adalah pemborosan waktu.” Menurutnya, model-model pemikiran AI dapat menyarikan wawasan utama dari buku dan memberi tahu kita bagaimana cara mengimplementasikannya, berdasarkan apa yang mereka ketahui tentang kita. Hal ini mengangkat paradoks yang menarik: Bisakah kita benar-benar menyerahkan kegiatan membaca kepada mesin, dan jika bisa, apa yang akan kita hilangkan dalam prosesnya?


Kemampuan AI saat ini memungkinkan kita untuk menyarikan sejumlah besar informasi dalam hitungan detik, memberikan pengguna wawasan utama atau saran yang dapat diterapkan. Alat seperti ChatGPT dapat mencerna artikel dan buku panjang, menawarkan ringkasan dan mengekstrak data penting. Namun, meskipun ini terlihat seperti metode yang lebih efisien untuk memperoleh pengetahuan, hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis yang lebih dalam. Haruskah kita menggantikan kegiatan membaca dengan ringkasan AI, atau apakah membaca itu sendiri memiliki nilai yang melekat?


Nilai Membaca Lebih Dari Sekedar Informasi


Membaca bukan hanya tentang mengumpulkan informasi. Ini adalah tentang keterlibatan, kontemplasi, dan refleksi mendalam. Proses membaca buku, terutama jika dilakukan dengan penuh perhatian, melibatkan kerja yang lambat. Pembaca perlu mengikuti argumen, merasakan narasi, dan bergulat dengan ide-ide kompleks. Proses inilah yang seringkali membawa nilai, bukan sekadar tujuan untuk mendapatkan fakta atau wawasan.


Dengan hanya fokus pada pengambilan “wawasan terdistilasi” dari sebuah teks, kita berisiko mengurangi membaca menjadi sekadar pemrosesan data. Aksi membaca secara mendalam melibatkan pikiran manusia dengan cara yang tidak dapat ditiru oleh AI. AI tidak memiliki kedalaman emosional, intuitif, dan filosofis yang dibawa oleh pembaca manusia. Ketika kita membaca, kita tidak hanya memahami informasi di permukaan, tetapi kita membentuk hubungan, merenungkan bagaimana hal itu berhubungan dengan kehidupan kita, dan berinteraksi dengan materi dengan cara yang membentuk cara kita berpikir.


Bisakah AI Memahami Pengalaman Manusia?


Keyakinan bahwa membaca bisa disederhanakan menjadi ringkasan cepat yang disampaikan oleh model AI berasal dari salah paham baik tentang sifat membaca maupun pengalaman manusia. Pada intinya, membaca bukan hanya tentang informasi, tetapi tentang empati, pemahaman, dan pertumbuhan. Buku-buku, baik yang bersifat fiksi maupun nonfiksi, bukan sekadar kumpulan aturan atau wawasan; mereka adalah narasi kompleks, catatan sejarah, dan refleksi filosofis yang mengajak pembaca dalam perjalanan pemahaman dan transformasi.


Jika kita mengurangi tindakan membaca menjadi sekadar ekstraksi data, kita akan menghilangkan makna yang tersemat dalam proses tersebut. Ini mengurangi kekayaan pengalaman menjadi sesuatu yang mekanis dan impersonal. Asupan spiritual dan intelektual yang datang dari keterlibatan mendalam dengan teks hilang ketika AI mengambil alih. Seperti halnya makan atau berjalan-jalan yang tidak dapat dioptimalkan atau digantikan oleh teknologi, membaca juga memiliki nilai intrinsik yang tidak bisa digantikan.


Bahaya Kehilangan Kemanusiaan Kita


Membiarkan AI menggantikan aktivitas membaca mungkin menawarkan kenyamanan jangka pendek, tetapi hal itu juga berisiko mengikis sesuatu yang esensial dalam kemanusiaan kita. Tindakan membaca, terutama dengan perhatian dan keterlibatan, sangat terkait dengan apa artinya menjadi manusia. Ini mencerminkan kebutuhan kita akan hubungan, refleksi, dan pertumbuhan. AI mungkin dapat memberi tahu kita tentang apa isi sebuah buku, tetapi tidak dapat menggantikan pengalaman duduk dengan buku tersebut, mengalaminya, dan merenungkannya dengan cara yang sangat personal.


Saat kita menjalani kehidupan di zaman yang semakin otomatis, penting untuk bertanya pada diri sendiri apakah pencarian kenyamanan dan efisiensi sebanding dengan mengorbankan apa yang menjadikan kita manusia. Ketika kita menyerahkan proses berinteraksi dengan ide dan narasi kepada mesin, kita berisiko mengubah diri kita menjadi penerima pasif data, bukan peserta aktif dalam perkembangan intelektual dan emosional kita sendiri.


AI tentu bisa membantu kita dalam membaca dengan menyarikan teks atau memberikan wawasan utama. Namun, ketika menyangkut esensi dari membaca, berkoneksi dengan materi pada tingkat yang lebih dalam dan lebih manusiawi, mesin memiliki keterbatasan. Teknologi dapat membantu kita menghemat waktu, tetapi tidak dapat menggantikan pengalaman manusia dalam berinteraksi dengan literatur dan dunia ide. Membaca bukan hanya sebuah tugas; ia adalah pengalaman yang membentuk siapa kita dan bagaimana kita memahami dunia.