Dalam perkembangan riset terbaru, para ilmuwan menemukan hubungan mengejutkan antara sel-sel imun di usus dan memburuknya rheumatoid arthritis (RA), sebuah penyakit autoimun kronis yang terutama menyerang sendi.


Selama ini, penyebab utama RA lebih banyak difokuskan pada gangguan sistem kekebalan dalam jaringan sendi (sinovium). Namun, ilmuwan kini mulai membuka mata pada peran penting saluran pencernaan, khususnya interaksi antara mikroorganisme dalam usus dan sistem imun.


Dr. Emma Johansson, seorang ahli reumatologi dari Universitas Kopenhagen, mengungkapkan, “Gagasan bahwa sel imun usus bisa memengaruhi penyakit inflamasi sistemik seperti RA bukan lagi spekulasi. Penelitian kami menunjukkan adanya jalur komunikasi pada usus dan sendi, yang disebut sebagai ‘gut-joint axis’.”


Peran Mikrobiota Usus dalam Mengatur Imun Tubuh


Usus manusia bukan hanya tempat pencernaan, melainkan pusat penting dalam mengatur respon imun tubuh. Ada jaringan limfoid pada bagian dalam atau disebut gut-associated lymphoid tissue (GALT), yang berfungsi sebagai pengatur respons imun.


Dalam studi penting yang dipublikasikan di Nature Immunology tahun 2024, para peneliti mengidentifikasi bahwa sel T-helper di usus, terutama yang menghasilkan interleukin-17 (IL-17) memiliki keterkaitan erat dengan memburuknya RA. Sel Th17 ini dapat diaktifkan oleh komposisi mikrobiota usus yang berubah, kemudian bermigrasi ke sendi dan memperparah peradangan sinovial dengan meningkatkan sekresi sitokin pro-inflamasi.


Ketidakseimbangan Mikrobiota Usus (Dysbiosis) Memicu RA


Saat jumlah dan jenis bakteri di usus tidak seimbang, kondisi ini disebut dysbiosis. Banyak penelitian menunjukkan bahwa penderita RA mempunyai mikrobiota usus yang berbeda dibanding orang sehat. Bakteri “jahat” lebih banyak, sementara bakteri “baik” justru berkurang.


Dr. Xavier Dubois, pakar mikrobiologi dari Universitas Paris, menjelaskan, “Ketidakseimbangan ini merusak fungsi penghalang usus, sehingga produk mikroba seperti lipopolisakarida (LPS) bisa masuk ke aliran darah dan mengaktifkan respon imun sistemik. Ini diyakini menjadi pemicu utama peradangan di sendi.”


Menariknya, terapi transplantasi mikrobiota tinja (Fecal Microbiota Transplantation atau FMT) pada hewan percobaan menunjukkan hasil yang menjanjikan, di mana gejala radang sendi mereda setelah keseimbangan mikrobiota dipulihkan. Meski demikian, uji coba pada manusia masih terbatas dan belum digunakan secara luas dalam praktik klinis.


Antibodi Asal Usus yang Memperburuk RA


Satu lagi fakta menarik yang terungkap adalah keberadaan antibodi yang berasal dari usus pada pasien RA. Ditemukan anti-citrullinated protein antibodies (ACPAs), pada jaringan mukosa usus pasien RA bahkan sebelum adanya gejala. Hal ini membuat para peneliti menduga bahwa sistem imun di usus dapat menjadi tempat awal “pemicu” autoimun sebelum menyebar ke bagian tubuh lain.


Studi terbaru dalam The Journal of Clinical Investigation menyebutkan bahwa sel imun seperti sel B dan plasma di mukosa usus aktif memproduksi ACPAs. Antibodi ini kemudian menyebar melalui aliran darah menuju sendi, membentuk kompleks imun yang memicu peradangan dan kerusakan sendi lebih lanjut.


Terobosan Pengobatan: Sasar Usus untuk Redakan RA


Melihat kuatnya keterkaitan antara usus dan RA, para peneliti kini mulai menjajaki terapi yang ditujukan untuk memperbaiki sistem imun usus. Salah satu pendekatan menjanjikan adalah penggunaan probiotik untuk menyeimbangkan kembali mikrobiota usus. Cara yang masih diuji yaitu penggunaan probiotik, bakteri baik seperti Lactobacillus dan Bifidobacterium.


Selain itu, prebiotik, zat yang mendukung pertumbuhan bakteri baik dalam usus juga sedang diteliti sebagai cara potensial untuk menurunkan peradangan. Meskipun masih dalam tahap uji klinis awal, metode-metode ini membuka kemungkinan besar bahwa terapi berbasis usus bisa menjadi pelengkap pengobatan RA yang sudah ada.


Dengan semakin jelasnya hubungan antara sistem imun usus dan RA, para ahli mulai mengembangkan pendekatan pengobatan presisi atau precision medicine. Dengan menganalisis profil mikrobioma dan sistem imun seseorang, dokter dapat merancang pengobatan yang lebih personal, termasuk kombinasi antara intervensi makanan, terapi biologis, dan perbaikan mikrobiota usus.