Polusi udara tidak lagi dianggap sebagai isu lingkungan pinggiran. Kini, polusi udara menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya kasus gangguan pernapasan dan kematian di seluruh dunia.


Sistem pernapasan, sebagai organ pertama yang terpapar langsung oleh udara yang dihirup, menjadi target utama zat-zat beracun di udara. Bukti medis semakin menguatkan bahwa paparan jangka panjang terhadap polusi udara, baik di luar ruangan maupun dalam ruangan, dapat memicu berbagai gangguan peradangan, kekebalan, dan kerusakan sel yang kompleks.


Polutan Udara dan Mekanisme Kerusakan Paru-Paru


Polusi udara modern terdiri dari berbagai zat berbahaya, terutama partikel halus (PM2.5 dan PM10), nitrogen dioksida (NO₂), ozon (O₃), karbon monoksida (CO), dan senyawa organik volatil (VOCs). Di antara semua itu, PM2.5 sangat berbahaya karena mampu menembus sistem pertahanan saluran pernapasan atas dan langsung menetap di alveolus paru-paru.


Menurut Dr. Philip Landrigan, Direktur Program Kesehatan Global di Boston College, “Partikel ultra-halus ini memicu stres oksidatif dan kerusakan endotel, yang menyebabkan peradangan alveolus serta efek vaskular sistemik.” Lapisan penghalang alveolus-kapiler yang penting untuk pertukaran gas menjadi sasaran utama kerusakan. Partikel halus tersebut menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS) yang memulai proses perusakan lipid dan DNA, yang kemudian menyebabkan kematian sel, gangguan membran dasar, serta pelepasan sitokin pro-inflamasi seperti IL-1β dan TNF-α.


Dampak Klinis dan Manifestasi Penyakit


- Asma dan Hiperresponsivitas Saluran Napas


Banyak uji klinis menunjukkan hubungan kuat antara paparan polutan dari lalu lintas dan peningkatan serangan asma. Sebuah meta-analisis tahun 2023 yang dimuat di jurnal Thorax menemukan bahwa pasien yang tinggal di wilayah dengan polusi tinggi mengalami peningkatan 1,8 kali lipat kunjungan gawat darurat akibat sesak napas dan mengi.


- Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


Paparan kronis menyebabkan perubahan struktur saluran napas, peningkatan sel goblet, dan produksi lendir berlebihan. Penelitian terbaru di European Respiratory Journal menunjukkan bahwa paparan jangka panjang terhadap NO₂ berkorelasi dengan penurunan signifikan volume ekspirasi paksa dalam satu detik (FEV₁), bahkan pada orang dewasa yang tidak merokok.


- Perubahan Fibrotik dan Keterlibatan Interstisial


Penelitian terbaru mendeteksi adanya perubahan interstisial dini pada CT scan resolusi tinggi pada individu tanpa gejala yang tinggal di kota besar dengan polusi tinggi. Dr. Noura Sayeed, seorang ahli radiologi paru dari King's College Hospital London menyatakan, “Kami menemukan retikulasi subpleural dan bronkiektasis tarikan pada non-perokok tanpa paparan kerja tertentu, mengindikasikan kemungkinan fibrosis akibat polusi udara.”


Rentannya Anak-anak dan Lansia


Anak-anak memiliki sistem pernapasan yang belum matang, serta tingkat ventilasi yang lebih tinggi, membuat mereka lebih banyak menghirup zat beracun dari udara. Paparan sejak dini dikaitkan dengan perkembangan paru yang tidak optimal, fungsi paru maksimal yang lebih rendah saat dewasa, serta insiden gangguan mengi yang lebih tinggi.


Sementara itu, pada lansia, kondisi penyerta seperti gangguan jantung atau metabolik memperburuk risiko. Kombinasi polusi dan kondisi ini mempercepat penurunan fungsi paru. Penelitian menunjukkan bahwa selama periode polusi tinggi, kadar penanda peradangan seperti hs-CRP dan FeNO pada lansia ikut meningkat tajam.


Pemeriksaan Gambar dan Biomarker Diagnostik


CT-scan resolusi tinggi bisa membantu mengidentifikasi kerusakan paru seperti penebalan saluran napas kecil atau perubahan fibrosis pada tahap awal. Selain itu, tes molekuler seperti:


- 8-Hidroksi-2′-deoksiguanosin (8-OHdG) dalam dahak menunjukkan kerusakan DNA akibat stres oksidatif.


- Analisis kondensat napas (EBC) menunjukkan peningkatan kadar hidrogen peroksida (H₂O₂) sebagai penanda stres oksidatif seluler.


Tinjauan tahun 2024 yang diterbitkan di American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine menekankan bahwa integrasi teknologi pencitraan dan biomarker molekuler ini penting untuk mendeteksi kerusakan saluran napas sejak dini, terutama pada pasien tanpa gejala yang memiliki faktor risiko lingkungan.


Tindakan Medis dan Panduan Klinis


Meskipun solusi jangka panjang berada di tingkat kebijakan pengendalian kualitas udara, peran dokter semakin krusial dalam mengelola dan mencegah dampak pernapasan akibat paparan polusi.


- Intervensi Farmakologis:


Penggunaan kortikosteroid hirup, agonis β₂ kerja panjang, dan antagonis reseptor leukotrien dapat membantu mengendalikan peradangan pada individu yang rentan.


- Rehabilitasi Paru:


Di wilayah dengan tingkat polusi tinggi, rehabilitasi terstruktur dapat membantu memulihkan kapasitas fungsi paru pada penderita gangguan akibat polusi.


- Tindakan Pencegahan:


Pemberian masker berkualitas tinggi seperti N95 untuk penderita penyakit pernapasan kronis sangat dianjurkan selama periode polusi ekstrem. Dr. Jorge Ramirez, seorang pulmonolog di Instituto Nacional de Enfermedades Respiratorias di Kota Meksiko, menegaskan bahwa “bahkan lonjakan polusi jangka pendek perlu diperhitungkan dalam riwayat medis pasien, terutama bila terjadi penurunan pernapasan yang tidak dapat dijelaskan.”


Pertimbangan Jangka Panjang dan Kewaspadaan Medis


Dampak paparan kronis terhadap polusi udara sering kali tidak bersifat langsung. Kerusakan subklinis dapat menumpuk selama bertahun-tahun dan akhirnya menyebabkan gangguan paru permanen. Oleh karena itu, dokter umum maupun spesialis paru perlu:


- Mengintegrasikan pemantauan kualitas udara dalam sesi konseling pasien


- Mendokumentasikan riwayat lingkungan dan pekerjaan dalam setiap evaluasi gangguan pernapasan


- Melakukan skrining berkala menggunakan spirometri dan HRCT pada kelompok berisiko tinggi


Polusi udara adalah musuh senyap namun agresif bagi kesehatan pernapasan. Ia dapat memicu penyakit, memperparah kondisi yang sudah ada, serta menghambat pemulihan dari infeksi dan peradangan. Sudah waktunya komunitas medis memimpin, tidak hanya dalam pengobatan, tetapi juga dalam deteksi dini, edukasi lingkungan, dan bimbingan kepada pasien.