Tahukah Anda bahwa ada kondisi di dalam telinga yang secara diam-diam dapat merusak pendengaran dan bahkan mengancam struktur penting di kepala? Inilah yang disebut kolesteatoma, sebuah lesi jinak namun bersifat invasif yang tumbuh di dalam rongga telinga tengah atau mastoid.
Meskipun tidak bersifat kanker, kolesteatoma bisa berkembang agresif. Lesi ini terbentuk dari jaringan epitel skuamosa yang menumpuk keratin, dan bisa menyebabkan kerusakan serius pada tulang-tulang kecil di telinga, serta mengancam struktur saraf dan pembuluh darah di sekitarnya
Sebuah ulasan terbaru dalam jurnal Otolaryngology–Head and Neck Surgery tahun 2024 menyatakan bahwa keterlambatan diagnosis kolesteatoma masih menjadi masalah global, terutama pada anak-anak. Gejalanya yang tidak khas dan sering kali tersembunyi membuat kondisi ini mudah terlewatkan hingga mencapai tahap lanjut.
Awal Mula Kolesteatoma: Dari Retakan Kecil Menjadi Masalah Besar
Kolesteatoma memiliki dua jenis utama: kongenital dan didapat. Kolesteatoma kongenital berasal dari sisa epitel embrionik dan umumnya ditemukan di bagian anterosuperior telinga tengah tanpa riwayat infeksi sebelumnya. Sementara itu, jenis yang lebih umum adalah kolesteatoma didapat, yang kerap berhubungan dengan otitis media kronis dan retraksi membran timpani, terutama pada bagian pars flaccida.
Menurut Dr. Jacqueline Allen dari Universitas Auckland, "Tekanan negatif di telinga tengah akibat fungsi tuba Eustachius yang buruk membuat membran timpani terhisap ke dalam, membentuk kantong retraksi yang menjebak serpihan keratin. Di sinilah siklus kolesteatoma dimulai."
Gejala Awal yang Sering Diabaikan
Kolesteatoma sering kali muncul dengan gejala ringan yang bisa disalahartikan sebagai infeksi biasa. Gejala pertamanya bisa berupa keluarnya cairan telinga yang berbau tidak sedap dan tidak membaik meskipun sudah diberikan antibiotik. Seiring waktu, penderita bisa mengalami gangguan pendengaran konduktif, sensasi penuh di telinga, bahkan vertigo atau gangguan saraf wajah dalam kasus lanjut.
Pada anak-anak, gejalanya sering kali lebih tersembunyi. Mereka mungkin hanya menunjukkan gangguan pendengaran yang terdeteksi saat pemeriksaan di sekolah. Pemeriksaan otoskop dapat menunjukkan massa putih seperti mutiara atau kantong retraksi dengan jaringan granulasi. Namun tidak semua kolesteatoma terlihat secara langsung, sehingga dibutuhkan tingkat kecurigaan klinis yang tinggi dan pemeriksaan penunjang.
Diagnosis: Melampaui Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan imaging berperan penting dalam mendiagnosis kolesteatoma. CT-scan resolusi tinggi pada tulang temporal merupakan standar utama karena mampu menunjukkan sejauh mana erosi tulang terjadi, terutama pada bagian scutum, tulang-tulang pendengaran, kanalis semisirkularis lateral, dan atap telinga tengah.
MRI dengan teknik diffusion-weighted imaging (DWI) kini makin sering digunakan untuk mendeteksi sisa atau kekambuhan pascaoperasi. Inovasi terbaru berupa non-echo planar DWI (non-EPI DWI) yang dipublikasikan dalam jurnal Radiology tahun 2023 menawarkan resolusi lebih tinggi dan mengurangi gangguan gambar, memungkinkan deteksi dini dan lebih akurat.
Gambaran Mikroskopik: Si Pelaku di Balik Layar
Secara histologis, kolesteatoma tersusun dari inti keratin yang mengelupas, dikelilingi oleh epitel skuamosa berlapis. Enzim yang dikenal sebagai matrix metalloproteinases (MMP-2 dan MMP-9) terbukti berkontribusi dalam penghancuran tulang.
Sebuah studi tahun 2024 dalam Acta Oto-Laryngologica menunjukkan bahwa kadar MMP yang tinggi berhubungan erat dengan kerusakan osikula yang lebih parah serta invasi ke mastoid.
Tindakan Operasi: Jangan Tunda Jika Tidak Ingin Kehilangan Pendengaran
Pengobatan utama kolesteatoma adalah pembedahan. Tujuannya adalah membersihkan seluruh jaringan abnormal, merekonstruksi ruang telinga tengah, dan memperbaiki rantai osikular bila memungkinkan. Dua pendekatan utama yang digunakan adalah canal wall up (CWU) dan canal wall down (CWD), pemilihannya bergantung pada luasnya penyakit, usia pasien, struktur anatomi, dan risiko kekambuhan.
Teknik Bondy yang dimodifikasi atau operasi endoskopik transkanal dapat dipertimbangkan pada kasus ringan. Menurut Dr. John Dornhoffer, ahli bedah telinga terkemuka, "Operasi endoskopik telah memperluas kemampuan kami dalam menangani kolesteatoma di sudut-sudut tersembunyi sambil menjaga anatomi normal."
Kontrol Pascaoperasi: Waspadai Kambuhnya Penyakit
Meskipun operasi berhasil, kolesteatoma tetap dapat kambuh. Angka kekambuhan berkisar antara 10% hingga 40%, terutama pada prosedur CWU. Oleh karena itu, pemantauan rutin dengan MRI DWI setiap 6 hingga 12 bulan pascaoperasi sangat dianjurkan. Evaluasi pendengaran juga penting, dan jika diperlukan, dilakukan rekonstruksi ulang (ossikuloplasti).
Komplikasi Serius Jika Diabaikan
Jika tidak ditangani atau terjadi kekambuhan, kolesteatoma bisa menyebabkan berbagai komplikasi serius, antara lain:
- Kerusakan osikula dan gangguan pendengaran permanen
- Fistula labirin yang menyebabkan vertigo
- Kelumpuhan saraf wajah karena tekanan atau erosi tulang
- Komplikasi intrakranial seperti meningitis, trombosis sinus sigmoid, atau abses otak
Kolesteatoma bukan sekadar masalah telinga biasa. Ini adalah kondisi yang tampak jinak namun bersifat merusak. Tenaga kesehatan, terutama dokter THT, dokter anak, dan dokter layanan primer, perlu meningkatkan kewaspadaan terhadap gejala-gejala kolesteatoma, terutama pada anak-anak dengan infeksi telinga berulang atau cairan telinga yang menetap. Dengan kemajuan dalam pencitraan, teknik operasi, dan pemahaman biomolekuler, intervensi dini dapat menyelamatkan pendengaran dan kualitas hidup pasien.
simak video "mengenal Kolesteatoma"
video by "RS Premier Jatinegara"