Beberapa dekade mendatang, eksplorasi luar angkasa, khususnya di permukaan Mars dan objek-objek lain di luar angkasa, mungkin akan mengalami perubahan besar.


Kita kemungkinan akan menyaksikan pergeseran signifikan menuju misi robotik yang hampir sepenuhnya otonom, yang membuat kehadiran manusia di luar Bumi menjadi kurang menguntungkan.


Misi rekayasa seperti proyek konstruksi di planet lain pun dapat sepenuhnya dikerjakan oleh robot, dengan potensi eksplorasi meluas ke benda langit seperti Jupiter, Saturnus, dan satelit-satelitnya.


Kontroversi muncul seiring dengan investasi besar dalam program Artemis NASA yang bertujuan membawa manusia kembali ke Bulan. Banyak yang meragukan apakah keberadaan manusia di luar orbit rendah Bumi masih relevan. Seiring berkembangnya teknologi, khususnya di bidang robotika dan kecerdasan buatan, muncul pertanyaan: Apakah manfaat dari eksplorasi luar angkasa berawak masih lebih besar dibandingkan dengan risikonya?


Buku The End of Astronauts karya astronom Amerika, Donald Goldsmith, dan Martin Rees, mantan presiden Royal Society, membahas pandangan bahwa eksplorasi luar angkasa di luar orbit rendah Bumi harus dilakukan tanpa keterlibatan manusia. Dalam sebuah artikel yang dipublikasikan di media global The Conversation, Rees mengungkapkan bahwa program Artemis bisa saja menjadi misi terakhir bagi astronot NASA.


Pendaratan bulan bersejarah oleh Neil Armstrong pada 1969 memang menjadi puncak eksplorasi luar angkasa manusia. Namun, setelah Apollo terakhir meninggalkan Bulan pada 1972, eksplorasi luar angkasa manusia sebagian besar terbatas pada Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) yang beroperasi di orbit Bumi. Program Artemis, yang dipimpin oleh Amerika Serikat, bertujuan untuk mengembalikan manusia ke permukaan bulan dalam dekade ini. Meskipun ambisius, misi Artemis bertanya-tanya seberapa relevannya eksplorasi manusia seiring kemajuan luar biasa di bidang robotika dan kecerdasan buatan.


Saat ini, robot-robot canggih seperti rover Mars Perseverance milik NASA sudah dilengkapi dengan sensor mutakhir dan kecerdasan buatan yang memungkinkan mereka melakukan eksplorasi secara otonom. Perseverance, misalnya, mampu menavigasi medan berbatu di Mars tanpa bantuan manusia. Ini menunjukkan bahwa robot dapat menjelajahi situs-situs menarik dan mengambil keputusan tanpa keterlibatan manusia, yang semakin mengurangi kebutuhan akan astronot dalam misi-misi tertentu.


Perbedaan besar antara era Apollo dan saat ini terletak pada kemajuan pesat dalam teknologi komputer dan robotika. Meskipun roket Sistem Peluncuran Luar Angkasa NASA (SLS), yang menjadi andalan misi Artemis, masih mengingatkan kita pada roket Saturn V yang digunakan pada era Apollo, kemampuan robot saat ini jauh lebih berkembang. Robot dengan kecerdasan buatan kini dapat melakukan banyak tugas yang sebelumnya memerlukan kehadiran manusia, bahkan dalam kondisi yang sangat ekstrem, seperti di permukaan Mars atau Bulan.


Salah satu argumen utama yang diangkat oleh Goldsmith dan Rees adalah bahwa kemajuan dalam robotika sudah cukup untuk menggantikan banyak fungsi yang sebelumnya dilakukan oleh manusia. Robot-robot canggih ini bisa meminimalkan risiko dan biaya yang sangat tinggi yang terlibat dalam mengirim manusia ke luar angkasa. Misi-misi eksplorasi robotik yang semakin efisien dan efektif membuka kemungkinan baru untuk menjelajahi benda langit yang lebih jauh, seperti Jupiter dan Saturnus, tanpa perlu mengorbankan nyawa manusia.


Namun, meskipun robot semakin canggih, pertanyaan tentang peran manusia dalam eksplorasi luar angkasa tetap relevan. Eksplorasi manusia memiliki daya tarik tersendiri dan dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang tempat kita di alam semesta. Keinginan untuk menjelajahi luar angkasa adalah bagian dari sifat manusia yang ingin memahami batas-batas pengetahuan dan mencari tantangan baru. Namun, dengan teknologi yang terus berkembang, peran manusia dalam eksplorasi luar angkasa harus dipertimbangkan kembali, mengingat biaya tinggi dan bahaya yang melekat.


Sementara itu, program Artemis terus berusaha membawa manusia kembali ke Bulan, meskipun robotika yang semakin canggih menawarkan alternatif yang lebih aman dan lebih murah untuk eksplorasi luar angkasa. Masa depan eksplorasi luar angkasa mungkin akan melibatkan sinergi antara manusia dan robot, dengan kolaborasi yang dapat memastikan penemuan-penemuan yang lebih efisien dan revolusioner.


Perdebatan antara eksplorasi luar angkasa berawak dan robotik akan terus berlanjut. Keberhasilan misi Artemis dan kemampuan robot untuk melakukan eksplorasi secara otonom akan menentukan arah masa depan eksplorasi luar angkasa. Dengan teknologi yang terus berkembang, dunia luar angkasa mungkin akan lebih banyak dieksplorasi oleh robot, sementara manusia tetap akan memainkan peran penting dalam mengembangkan teknologi dan mendalami misteri alam semesta.