Bunga matahari, dengan kelopak kuning cerahnya yang khas, sering menjadi simbol energi dan semangat hidup.
Banyak orang yang menganggap bunga matahari selalu menghadap matahari sepanjang hari, mengikuti jalur pergerakannya. Namun, kenyataannya, bunga matahari tidak selalu berputar mengikuti matahari setelah fase pertumbuhannya matang.
Fenomena ini, yang dikenal dengan heliotropisme, hanya terjadi selama fase pertumbuhannya yang masih muda, sebelum bunga tersebut sepenuhnya mekar. Pada fase ini, bunga matahari secara aktif menghadap matahari—seperti remaja yang selalu mencari cahaya untuk berkembang.
Di masa pertumbuhannya yang awal, bunga matahari dipengaruhi oleh dua zat penting: auxin dan karotenoid oksidase. Auxin, yang berperan dalam merangsang pertumbuhan sel tanaman, akan menanggapi sinar matahari dengan cara yang unik. Zat ini cenderung menghindari sinar matahari dan berakumulasi di sisi batang tanaman yang lebih gelap atau terlindung dari cahaya. Sebaliknya, karotenoid oksidase, yang turut terlibat dalam proses fotosintesis, akan berkembang dengan lebih optimal ketika terpapar sinar matahari. Akibat interaksi keduanya, batang bunga matahari yang terpapar sinar matahari akan tumbuh lebih cepat dibandingkan sisi lainnya. Hal ini membuat bunga matahari “berputar” mengikuti pergerakan matahari.
Proses ini tidak terjadi dalam waktu yang singkat, melainkan melalui periode yang cukup lama. Pergerakan bunga matahari mengikuti matahari berlangsung perlahan sekitar 12 derajat (sekitar 48 menit) dari posisi matahari yang semula. Ketika matahari terbenam, pergerakan bunga matahari akan terhenti sejenak, dan auxin akan menyebar merata di seluruh batang bunga matahari. Pada pagi hari, bunga matahari akan kembali menghadap matahari yang terbit.
Namun, setelah bunga matahari matang dan mulai mekar, batangnya menjadi lebih kaku dan tidak lagi mengikuti pergerakan matahari. Ini menunjukkan bahwa heliotropisme hanya terjadi pada fase pertumbuhannya yang masih muda, dan setelah itu, bunga matahari akan tetap menghadap satu arah tanpa berputar mengikuti pergerakan matahari.
Apa yang Terjadi Jika Bulan Menghilang?
Bayangkan jika bulan tiba-tiba menghilang dari langit malam. Dampaknya bagi bumi akan sangat besar dan dapat menyebabkan perubahan dramatis dalam kehidupan sehari-hari. Berikut ini adalah beberapa konsekuensi yang mungkin terjadi jika bulan menghilang:
1. Pasang Surut
Bisa Berhenti Bulan berperan sebagai kekuatan utama yang menyebabkan pasang surut air laut. Tarikan gravitasi bulan menarik air laut, menciptakan fenomena pasang dan surut yang terlihat jelas di banyak pesisir bumi. Tanpa bulan, pasang surut akan berhenti atau menjadi sangat lemah. Meskipun gravitasi matahari juga mempengaruhi pasang surut, namun efeknya jauh lebih kecil. Kehilangan pasang surut besar ini akan mengganggu kehidupan ekosistem laut dan bisa berdampak pada pola arus laut, iklim global, serta curah hujan. Perubahan ini mungkin akan memicu ketidakseimbangan ekologis yang mengarah pada kerusakan massal terhadap habitat laut.
2. Iklim yang Lebih Tidak Stabil
Kemiringan sumbu bumi, sekitar 23,5 derajat, adalah faktor yang menyebabkan adanya musim-musim di bumi. Kemiringan ini diyakini terbentuk akibat tabrakan besar miliaran tahun lalu yang melibatkan benda langit. Bulan berperan sebagai penstabil kemiringan sumbu bumi tersebut. Tanpa bulan, sumbu bumi akan cenderung tidak stabil, yang bisa menyebabkan perubahan musim yang sangat ekstrim. Dengan perubahan iklim yang tidak menentu, kita mungkin akan mengalami kondisi musim yang lebih keras dan berfluktuasi, yang berpotensi menyebabkan kerusakan besar pada kehidupan di bumi.
3. Hari yang Lebih Pendek
Tanpa bulan, rotasi bumi akan jauh lebih cepat. Pada masa lalu, sebelum bulan hadir, rotasi bumi berlangsung lebih cepat, dengan satu hari hanya sekitar lima jam. Tarikan gravitasi bulan memperlambat rotasi bumi seiring berjalannya waktu, dan ini memberi kita durasi 24 jam untuk satu hari. Tanpa bulan, kita akan kembali mengalami hari-hari yang lebih pendek, yang akan mengubah ritme biologis kita, seperti pola tidur dan kebiasaan hidup manusia.
4. Malam yang Lebih Gelap
Bulan juga memberikan pencahayaan yang signifikan pada malam hari melalui pantulan cahaya matahari. Jika bulan menghilang, langit malam akan jauh lebih gelap. Meskipun planet Venus akan menjadi objek paling terang di langit malam, cahayanya hanya sekitar 1/14.000 dari cahaya bulan. Dengan demikian, malam akan menjadi lebih gelap, dan ungkapan "gelap seperti malam" akan menjadi kenyataan yang lebih literal.
Mengapa Orang Melepaskan Gas?
Flatulensi, atau lebih dikenal dengan buang gas, adalah proses alami yang terjadi akibat akumulasi gas di dalam usus. Setiap kali kita makan, makanan akan dicerna dalam perut dan sebagian besar proses pencernaan ini menghasilkan gas. Gas-gas ini kemudian bergerak melalui usus besar dan akhirnya terkumpul di sekitar usus besar, menunggu untuk dikeluarkan.
Meskipun buang gas adalah sesuatu yang alami, tubuh kita sebenarnya bisa sedikit mengendalikan kapan gas itu dikeluarkan. Ketika seseorang menahan gas, gas tersebut bisa diserap kembali oleh dinding usus, masuk ke dalam aliran darah, dan beredar ke seluruh tubuh. Proses ini memungkinkan gas untuk disaring oleh hati, lalu dibawa ke paru-paru, dan akhirnya dikeluarkan dari tubuh melalui hidung atau mulut.
Menariknya, menahan gas tidak berarti gas itu hilang selamanya. Gas yang ditahan akan keluar di waktu lain, meskipun mungkin dengan cara yang tidak terduga. Oleh karena itu, meskipun kita bisa menahan gas sejenak, pada akhirnya gas tersebut tetap akan dikeluarkan, menjaga keseimbangan alami tubuh.
Fenomena alam seperti heliotropisme bunga matahari, pengaruh bulan terhadap bumi, hingga proses pencernaan yang menghasilkan gas, menggambarkan betapa kompleks dan saling terkaitnya kehidupan di bumi dengan peristiwa alam yang terjadi di sekitar kita.