Pernahkah Anda memperhatikan bagaimana peran anak dalam keluarga bisa sangat berbeda hanya karena urutan kelahiran?
Anak pertama, anak tengah, hingga si bungsu sering kali mendapat perlakuan dan ekspektasi yang berbeda. Dari semua perbedaan tersebut, posisi anak sulung terutama anak perempuan, ternyata memiliki peran yang sangat menarik sekaligus penuh tantangan.
Anak sulung perempuan sering digambarkan sebagai sosok yang bertanggung jawab, penuh perhatian, dan dewasa sebelum waktunya. Dalam bukunya The Eldest Daughter Effect: How Firstborn Women Harness Their Strengths, Lisette Schuitemaker menyebut bahwa sifat-sifat ini mendorong anak sulung perempuan menjadi pemimpin alami, baik di lingkungan keluarga maupun di kehidupan profesional mereka.
Tokoh-tokoh besar dunia seperti Hillary Clinton, Oprah Winfrey, hingga Beyoncé diketahui merupakan anak sulung perempuan, sebuah bukti nyata bahwa tanggung jawab sejak dini bisa membentuk karakter luar biasa. Namun, di balik kesuksesan mereka, tersimpan kisah tentang tekanan yang jarang dibahas.
Menjadi anak pertama bukan hanya soal menjadi panutan. Banyak anak sulung perempuan yang secara tidak sadar mengalami peran sebagai "pengasuh kedua" bagi adik-adiknya. Kondisi ini disebut sebagai "parentifikasi", di mana anak merasa harus berperan seperti orang tua. Mereka sering merasa wajib menjaga, mendidik, bahkan menghibur adik-adiknya, padahal mereka sendiri masih anak-anak.
Tanggung jawab yang besar sejak kecil ini bisa membentuk pribadi yang kuat, namun juga menyimpan potensi tekanan emosional. Dalam keluarga modern yang sering kali lebih kecil dan terisolasi dari dukungan keluarga besar, peran ini bisa menjadi beban tersendiri.
Sebuah studi dari Epic Research yang menganalisis data lebih dari 180.000 anak menunjukkan bahwa anak pertama yang memiliki adik berisiko 48% lebih tinggi mengalami kecemasan, dan 35% lebih tinggi mengalami depresi pada usia 8 tahun dibandingkan dengan anak-anak yang lahir setelahnya.
Bahkan anak tunggal pun menunjukkan kecenderungan yang sama. Hal ini menandakan bahwa urutan kelahiran bisa menjadi penanda penting dalam memahami risiko kesehatan mental anak. Caleb Cox, salah satu peneliti dari Epic Research, menekankan pentingnya mengenali faktor-faktor risiko ini agar anak-anak mendapat dukungan yang sesuai.
Urutan kelahiran tidak hanya mempengaruhi cara orang tua memperlakukan anak, tetapi juga dipengaruhi oleh faktor biologis. Dr. Fox, seorang antropolog biologi, menjelaskan bahwa setiap kehamilan menciptakan lingkungan biologis yang unik. Kehamilan pertama biasanya disertai dengan perubahan hormon dan kondisi fisik yang berbeda dibandingkan kehamilan berikutnya.
Selain itu, orang tua yang baru pertama kali memiliki anak cenderung lebih cemas dan perfeksionis. Hal ini dapat memicu tekanan tambahan bagi anak pertama, yang tidak hanya menjadi "percobaan" dalam pola asuh, tetapi juga harus tumbuh di bawah ekspektasi tinggi.
Secara historis, anak sulung sering kali dilibatkan dalam membantu mengurus adik-adiknya. Dalam kehidupan masyarakat tradisional, ini adalah hal yang lumrah dan dianggap wajar. Namun, di era modern yang serba cepat dan penuh tuntutan, peran ini bisa berubah menjadi tekanan mental, terutama jika tidak diimbangi dengan dukungan emosional.
Menariknya, penelitian juga menunjukkan bahwa keterlibatan anak dalam tanggung jawab rumah tangga, seperti membantu membersihkan rumah atau menjaga adik, dapat meningkatkan rasa percaya diri dan ketangguhan mental. Asalkan dilakukan secara seimbang dan sesuai usia, tugas-tugas ini bisa menjadi sarana pembelajaran yang positif.
Orang tua memiliki peran penting dalam memastikan bahwa semua anak merasa didengar dan dihargai. Tugas-tugas rumah memang penting, tapi harus diberikan sesuai kemampuan dan usia anak. Ketika anak merasa mampu menyelesaikan tugas tanpa merasa terbebani, mereka akan merasa lebih percaya diri dan mandiri.
Mengetahui minat dan keunikan setiap anak juga bisa membantu orang tua dalam membagi tanggung jawab secara adil. Dengan menciptakan lingkungan rumah yang penuh empati, anak-anak akan merasa bahwa mereka tidak sendirian dalam menghadapi tantangan dan pada saat yang sama, mereka belajar menjadi individu yang bertanggung jawab.
Anak sulung perempuan memang sering menjadi sosok yang tangguh, pemimpin alami, dan pelindung dalam keluarga. Namun, kekuatan ini bukan berarti mereka tidak memiliki kebutuhan emosional. Tekanan yang mereka alami sejak kecil bisa berdampak jangka panjang jika tidak diimbangi dengan perhatian dan dukungan dari orang tua.
Dengan pola asuh yang penuh pengertian dan distribusi tanggung jawab yang adil, anak sulung perempuan bisa tumbuh menjadi pribadi luar biasa, bukan karena mereka harus, tapi karena mereka merasa dicintai dan dihargai. Jadi, jika Anda adalah orang tua, atau anak sulung perempuan itu sendiri, ingatlah: menjadi kuat bukan berarti harus memikul semuanya sendirian.