Pernahkah Anda menatap sebuah lukisan dan berpikir, "Siapa yang membuat ini?" lalu baru menyadari bahwa penciptanya ternyata bukan manusia, melainkan sebuah program? Kejutan seperti ini kini semakin sering terjadi.


Bukan sekadar karena kecerdasan buatan (AI) bisa menggambar, melukis, dan mendesain, tetapi karena kemampuannya semakin mengagumkan. Bahkan beberapa karya AI kini dipajang di galeri dan dijual dengan harga fantastis.


Situasi ini memaksa dunia seni mempertanyakan sesuatu yang selama ini dianggap pasti: siapa yang sebenarnya bisa disebut "seniman"?


Kebangkitan Kreator Virtual


Pada 2018, sebuah lukisan AI berjudul Edmond de Belamy terjual di Christie's dengan harga lebih dari 400 ribu dolar AS. Karya ini dibuat oleh Obvious Collective, sekelompok seniman yang menggunakan algoritma pembelajaran mesin yang dilatih dari ribuan potret. Penjualan ini menandai titik balik, bukan sekadar gimmick, tapi penjualan serius di ruang seni serius.


Kemudian muncul Claire Silver, seorang seniman kolaboratif AI yang anonim, yang menciptakan karya digital memukau menggunakan alat seperti Midjourney dan jaringan adversarial generatif (GANs). Karyanya telah dipamerkan di acara bergengsi seperti Art Basel dan bahkan dibeli oleh kolektor besar. Menurut Claire, AI bukan pengganti seniman, melainkan kuas baru, sebuah kolaborator yang membuka pintu, bukan menutupnya.


Ini bukan hanya soal bagaimana karya seni dibuat, tetapi juga tentang siapa atau apa yang berhak disebut seniman.


Respons Galeri Seni


Galeri tradisional kini terbagi menjadi dua kubu.


Beberapa memilih untuk menyambut. Mereka menggelar pameran khusus AI, mengundang kolektor untuk mengeksplorasi kategori baru ini. Mereka memanfaatkan sensasi dan rasa ingin tahu, karena karya AI sering menarik perhatian audiens muda yang tech-savvy dan mungkin sebelumnya jarang mengunjungi galeri.


Di sisi lain, ada yang lebih berhati-hati. Pertanyaan besar yang mereka hadapi adalah soal keaslian. Bisakah karya tanpa pencipta manusia memiliki kedalaman emosional? Bisakah karya yang lahir dari kode membangkitkan makna seperti karya yang dibuat dengan tangan?


Selain itu, ada tantangan logistik. Bagaimana cara mengautentikasi karya AI? Bagaimana soal asal-usul ketika penciptanya adalah algoritma yang dilatih dari ribuan data? Beberapa galeri mencoba mencatat kontribusi manusia dan AI secara bersamaan, sementara yang lain menggunakan sertifikasi NFT untuk menjamin kepemilikan digital yang dapat ditelusuri. Proses ini memang kompleks, tapi perlahan galeri sedang menyesuaikan diri, satu prompt demi satu prompt.


Apakah Orang Sebenarnya Membeli Seni AI?


Jawabannya: Sudah.


Bukan hanya penggemar teknologi, tetapi kolektor mapan juga menaruh investasi nyata pada seni AI, melihatnya sebagai gerakan budaya sekaligus investasi masa depan. Seni AI menawarkan sesuatu yang baru, lahir dari data, dibentuk oleh logika mesin, dan sering diarahkan oleh tangan seniman dengan cara yang unik dan memikat.


Faktor penasaran juga berperan. Memiliki karya seni AI terasa seperti memiliki bagian dari masa depan. Bagi sebagian kolektor, hal ini sulit ditolak.


Namun, perdebatan belum usai. Bagi beberapa orang, AI adalah alat kreatif yang luar biasa; bagi yang lain, itu adalah ancaman terhadap ekspresi manusia. Seorang kolektor bahkan menolak membeli karya AI karena ingin "merasakan sentuhan tangan seniman" pada karya tersebut. Perbedaan pandangan ini kemungkinan besar tidak akan hilang dalam waktu dekat.


Etika dan Hak Cipta yang Rumit


Inilah bagian yang paling rumit.


Sebagian besar karya AI dilatih menggunakan dataset besar, jutaan gambar dari internet. Dataset ini sering mencakup karya berhak cipta dari seniman yang tidak memberi izin. Ini memunculkan pertanyaan etis: apakah seni AI dibangun di atas kerja keras yang "diambil begitu saja"?


Beberapa platform kini memungkinkan seniman untuk "keluar" dari dataset, tetapi implementasinya terbatas. Hukum masih jauh tertinggal dari teknologi. Di banyak negara, undang-undang hak cipta belum jelas menentukan siapa pemilik karya AI, apakah programmer, pengguna, atau AI itu sendiri?


Claire Silver menghadapi hal ini dengan transparansi. Dia menjelaskan prosesnya, mengungkapkan alat yang digunakan, dan melihat karyanya sebagai percakapan antara dirinya dan algoritma. Namun, tidak semua orang bersikap terbuka, sehingga muncul ketidakpastian tentang kepercayaan dan transparansi.


Apa Artinya untuk Anda?


Baik Anda seniman, kolektor, atau sekadar penggemar seni, perubahan ini penting. AI tidak menggantikan kreativitas manusia, tetapi memperluas definisinya. Garis antara seniman dan insinyur, antara kuas dan algoritma, semakin kabur. Dan apakah Anda siap atau tidak, garis itu tidak akan kembali seperti semula.


Yang bisa Anda lakukan:


- Tetap penasaran. Kunjungi pameran seni AI. Coba alat text-to-image. Tidak perlu langsung menjadi penggemar, tapi melihatnya secara langsung mengubah cara pandang Anda.


- Ajukan pertanyaan. Saat membeli atau melihat karya AI, gali prosesnya. Siapa yang membuatnya? Bagaimana? Alat apa yang digunakan? Transparansi kini lebih penting dari sebelumnya.


- Dukung kreator etis. Pilih seniman dan platform yang menghormati hak cipta dan memberi kredit. Tuntut praktik yang lebih baik, pilihan Anda membentuk pasar.


Sedikit longgarkan batasan. Seni selalu berevolusi dengan teknologi, dari cat minyak hingga Photoshop. Mungkin AI hanyalah medium berikutnya, bukan akhir dari makna.


Ketika Anda melihat potret digital menakjubkan atau lanskap surealis yang membuat Anda terhenti sejenak, jangan buru-buru bertanya, "Apakah ini dibuat manusia?" Tapi tanyakan, "Mengapa karya ini membuat kami terpukau?" Jawaban itu mungkin lebih penting daripada siapa pembuatnya.