Bagi para atlet wanita, hubungan antara citra tubuh dan performa olahraga merupakan hal yang sangat kompleks.
Dunia olahraga memang menuntut kekuatan, ketahanan, dan keterampilan, namun tekanan sosial tentang bagaimana seharusnya wanita terlihat sering kali ikut memengaruhi perjalanan karier mereka.
Para atlet wanita tidak hanya diharapkan unggul di bidangnya, tetapi juga diminta untuk tampil sesuai standar kecantikan yang dipopulerkan masyarakat. Keseimbangan antara tuntutan fisik dan ekspektasi penampilan ini sering menimbulkan tantangan emosional dan fisik yang berdampak pada kesejahteraan, kepercayaan diri, dan performa mereka di arena kompetisi. Artikel ini membahas bagaimana citra tubuh memengaruhi atlet wanita, tekanan yang mereka hadapi untuk memenuhi standar sosial, serta cara-cara agar mereka tetap menjaga kesehatan fisik dan mental di tengah ekspektasi yang tidak realistis.
Salah satu faktor paling berpengaruh terhadap citra tubuh atlet wanita adalah media. Alih-alih menonjolkan kemampuan dan prestasi olahraga, media sering kali lebih menyoroti penampilan fisik. Gambar-gambar atlet kerap diedit secara berlebihan, dan hanya tipe tubuh tertentu yang dianggap ideal. Akibatnya, muncul gambaran sempit tentang seperti apa seharusnya seorang atlet wanita terlihat.
Misalnya, atlet seperti pesenam atau skater sering dinilai bukan hanya dari performa, tetapi juga dari penampilan tubuh mereka. Sebaliknya, atlet di cabang olahraga seperti rugby atau tolak peluru yang mengandalkan kekuatan fisik sering kali menerima pesan yang bertentangan tentang bentuk tubuh ideal. Media yang seharusnya menjadi wadah apresiasi prestasi justru kerap memperkuat tekanan terhadap para atlet wanita untuk memenuhi standar kecantikan tertentu.
Banyak atlet wanita menghadapi konflik batin antara menjaga kesehatan dan performa optimal dengan keinginan untuk tampil sesuai standar kecantikan sosial. Ketika tubuh mereka lebih sering dinilai daripada kemampuan mereka, hal ini dapat menurunkan kepercayaan diri dan bahkan memengaruhi hasil pertandingan.
Contohnya dapat dilihat pada sosok Serena Williams, legenda tenis dunia yang sering menerima komentar negatif tentang bentuk tubuhnya. Tubuh berotot dan kuat milik Serena sebenarnya adalah aset utamanya untuk meraih kesuksesan luar biasa, namun ia tetap menjadi sasaran kritik hanya karena tidak sesuai dengan gambaran ideal masyarakat tentang tubuh wanita. Tekanan semacam ini membuat banyak atlet wanita harus berjuang untuk menerima tubuh mereka sendiri, bahkan di tengah prestasi gemilang.
Tekanan untuk memiliki tubuh yang dianggap "sempurna" sering kali berujung pada masalah kesehatan mental dan fisik. Beberapa atlet mengalami gangguan makan seperti anoreksia, bulimia, atau kecanduan olahraga yang berlebihan. Cabang olahraga seperti lari jarak jauh, senam, dan balet memiliki tingkat risiko lebih tinggi terhadap gangguan makan karena adanya penekanan kuat pada tubuh yang ramping dan ringan.
Lingkungan kompetitif juga dapat memperburuk situasi. Pelatih, rekan tim, bahkan penilaian publik dapat membuat atlet merasa tubuh mereka tidak cukup baik. Dalam jangka panjang, tekanan ini bisa menyebabkan kelelahan ekstrem, cedera kronis, hingga keinginan untuk berhenti dari dunia olahraga lebih awal.
Untuk mengatasi masalah citra tubuh pada atlet wanita, dibutuhkan pendekatan menyeluruh. Pendidikan mengenai komposisi tubuh yang sehat dan kesejahteraan mental perlu digencarkan agar atlet memahami bahwa tubuh mereka adalah alat untuk berprestasi, bukan sekadar penampilan.
Peran pelatih, psikolog olahraga, dan ahli gizi sangat penting dalam membangun hubungan yang sehat antara atlet dengan tubuh mereka. Pelatih harus menekankan pada kekuatan dan kemampuan, bukan pada bentuk tubuh. Psikolog dapat membantu atlet mengatasi tekanan sosial, sementara ahli gizi bisa memberikan panduan tentang cara menjaga energi dan kesehatan tanpa terjebak pada diet ekstrem.
Beberapa organisasi seperti National Eating Disorders Association (NEDA) dan The Women’s Sports Foundation juga aktif mengampanyekan kesadaran tentang pentingnya kesehatan fisik dan mental bagi atlet wanita. Mereka berupaya mengubah narasi agar fokus kembali pada performa, bukan penampilan.
Kini, muncul gelombang baru atlet wanita yang berani mengubah pandangan masyarakat tentang tubuh ideal. Mereka menggunakan platform media sosial untuk menunjukkan bahwa tubuh atletik datang dalam berbagai bentuk dan ukuran.
Dina Asher-Smith, sprinter dunia, misalnya, sering berbicara tentang pentingnya menerima kekuatan tubuh apa adanya. Ia menekankan bahwa kelincahan dan kecepatan bukan hanya milik tubuh tertentu. Sementara itu, Allyson Felix menggunakan popularitasnya untuk memperjuangkan kesehatan ibu dan dukungan bagi atlet wanita setelah melahirkan.
Pesan mereka sederhana namun kuat: kesuksesan bukan tentang memenuhi standar kecantikan, melainkan tentang mencapai keunggulan pribadi dalam bidang yang digeluti.
Pembahasan mengenai citra tubuh dan atlet wanita harus bergeser dari fokus pada penampilan menuju apresiasi atas keragaman tubuh yang mampu berprestasi luar biasa. Walaupun tekanan sosial dan media masih kuat, olahraga seharusnya menjadi sarana pemberdayaan wanita, tempat di mana kekuatan, ketahanan, dan kemampuan menjadi nilai utama.
Dengan menciptakan lingkungan yang suportif, para pelatih, organisasi olahraga, dan masyarakat dapat membantu atlet wanita merasa bangga dengan tubuh mereka, apa pun bentuknya. Nilai sejati seorang atlet tidak diukur dari penampilan, tetapi dari dedikasi dan kemampuannya mencapai prestasi tertinggi.
Jika semakin banyak atlet yang berani mengubah narasi ini, masa depan dunia olahraga wanita akan menjadi lebih sehat, inklusif, dan menginspirasi bagi generasi berikutnya.