Di sebuah suburb yang tenang di Tokyo, tepat setelah jam istirahat makan siang, sekelompok siswa SMP berdiri rapi, bukan di lintasan lari, tetapi di atas skateboard.
Helm terpasang, sepatu kets terikat kencang, mereka menunggu peluit dari guru olahraga yang memegang papan catatan di satu tangan dan skateboard di tangan lainnya.
Tidak ada yang bercanda. Tidak ada yang asyik menatap ponsel. Ini adalah kelas yang nyata. Skateboarding, yang dulu dianggap kegiatan "nakal" atau sekadar hiburan pinggiran, kini menjadi bagian dari kurikulum sekolah reguler di beberapa wilayah Jepang dan Korea Selatan. Apa yang bermula dari sorotan Olimpiade kini berkembang menjadi perubahan cara olahraga bagi remaja diajarkan dan cara mereka saling terhubung.
Sepuluh tahun lalu, skateboarding adalah sesuatu yang bisa membuat Anda ditegur jika dilakukan di depan toko. Mayoritas orang dewasa tidak menganggapnya serius, apalagi sekolah-sekolah. Namun setelah skateboard menjadi cabang olahraga Olimpiade pada 2021, pandangan mulai berubah.
Pemerintah dan pendidik mulai melihatnya bukan sekadar aktivitas keren, tetapi sebagai olahraga yang memberikan manfaat fisik, mental, bahkan sosial. Jepang, dengan atlet skateboard peraih medali, menjadi pelopor. Pada 2023, lebih dari 300 sekolah negeri di Tokyo sudah menambahkan unit skateboarding ke program olahraga mereka.
Korea Selatan mengikuti jejaknya. Di Seoul, taman skate yang didanai pemerintah bekerja sama dengan sekolah untuk menawarkan kelas pemula sebagai bagian dari pendidikan olahraga SMP.
Ini bukan eksperimen sesaat. Program ini terstruktur dengan instruktur terlatih, protokol keselamatan, dan tingkatan keterampilan yang jelas. Dan dampaknya lebih dari sekadar waktu istirahat yang berbeda.
Sekilas, menempatkan anak-anak di atas papan dengan roda mungkin terdengar berisiko. Namun kenyataannya, kelas skateboarding justru sangat tertib.
1. Menghargai Ketekunan, Bukan Kesempurnaan
Berbeda dengan olahraga tim di mana kemampuan langsung menentukan apakah Anda bisa ikut bertanding, skateboarding memberi ruang bagi siswa untuk gagal, mencoba lagi, dan berkembang sesuai kemampuan masing-masing. Jatuh bukanlah kegagalan, itu bagian dari proses belajar.
2. Meratakan Hierarki Sosial
Di banyak sekolah, olahraga bisa membagi siswa, atlet populer versus yang lain. Namun di kelas skateboard, anak pemalu yang diam-diam mencoba trik baru bisa tiba-tiba menjadi panutan teman-temannya.
3. Membangun Percaya Diri Nyata
Berhasil melakukan trik setelah puluhan kali mencoba bukan hanya kemenangan skill, tetapi juga mental. Guru di Seoul melaporkan siswa menjadi lebih percaya diri, tidak hanya saat olahraga, tetapi juga saat presentasi kelompok atau berbicara di depan kelas.
4. Inklusif untuk Semua
Skateboarding tidak memandang tinggi badan, berat badan, atau jenis kelamin. Beberapa sekolah bahkan mencatat peningkatan partisipasi siswa yang sebelumnya enggan mengikuti olahraga.
Mengubah skateboarding menjadi pelajaran bukan sekadar membeli papan dan kerucut. Dibutuhkan perencanaan, dukungan, dan perubahan pola pikir. Berikut pelajaran yang dipetik dari pengalaman sekolah di Jepang dan Korea:
1. Utamakan Keselamatan, Bukan Gaya
Tujuan bukan membuat pro skater, tapi mengajarkan keseimbangan, koordinasi, dan rasa hormat. Sekolah memulai dari dasar: dorongan, belokan, berhenti. Trik datang jauh kemudian.
2. Jadikan Skateboarding Sarana Belajar Lebih Luas
Beberapa guru menggunakan skating untuk memicu diskusi kelas tentang ruang kota, pengambilan risiko, bahkan fisika. Salah satu guru di Tokyo menjadikan desain papan skateboard sebagai proyek seni kelompok.
3. Libatkan Komunitas Skate Lokal
Alih-alih mengurus semuanya sendiri, sekolah bekerja sama dengan toko skateboard atau pelatih lokal. Mentor ini membawa otentisitas dan seringkali, rasa hormat instan dari siswa.
4. Berikan Ruang untuk Ekspresi Diri
Berbeda dengan olahraga lain yang seragam, siswa sering diberi kebebasan mempersonalisasi papan skateboard atau memilih musik untuk kelas. Kebebasan ini menjaga motivasi tetap tinggi.
Di Seoul, klub skate setelah sekolah mulai bermunculan. Siswa yang biasanya langsung pulang kini tetap tinggal untuk latihan, bertukar video, dan mendukung kemajuan teman-temannya. Guru mencatat persahabatan terbentuk antara anak-anak yang sebelumnya jarang berbicara.
Orang tua yang awalnya skeptis kini mulai mendukung. Salah satu orang tua mengatakan, melihat putrinya berubah dari pemalu menjadi berani, baik di papan skateboard maupun dalam kehidupan sehari-hari, sangat berharga.
Lebih menarik lagi, sekolah yang dulu melarang skateboard kini dengan bangga memajangnya di ruang olahraga.
Skateboarding bukan sekadar ditambahkan ke jadwal pelajaran, ia mengubah nuansa kehidupan sekolah. Jadi, ketika ada yang bilang skateboard hanya untuk kebisingan dan trik, tunjukkan sekolah yang tenang di Osaka atau Seoul, di mana seorang anak berdiri di garis start, mendorong papan dengan lembut, dan belajar lebih dari sekadar meluncur maju.