Selamat datang, Lykkers! Menjelajahi langit kini bukan lagi impian semata. Dalam beberapa tahun terakhir, ruang di sekitar Bumi telah berubah menjadi kawasan super sibuk, dipenuhi ribuan satelit buatan dan puing-puing luar angkasa.


Kemajuan teknologi satelit memang telah membuka pintu bagi konektivitas global dan berbagai kemajuan luar biasa, namun di balik itu, terdapat tantangan besar yang mengintai.


Mulai dari risiko tabrakan, gangguan terhadap penelitian ilmiah, dampak lingkungan, hingga celah besar dalam regulasi global, langit di atas kita bukan lagi tempat yang sepi. Apa yang sebenarnya terjadi di luar sana? Dan apa dampaknya bagi kehidupan di Bumi? Mari kita telusuri bersama!


Ledakan Jumlah Satelit: Fakta yang Mengejutkan


Menurut data dari United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA), lebih dari 11.000 satelit telah diluncurkan sejak awal era penjelajahan luar angkasa. Yang mengejutkan, lebih dari 7.000 di antaranya masih mengorbit Bumi hingga hari ini, meskipun hanya sekitar 4.000 yang benar-benar berfungsi. Luar biasanya, 57% dari seluruh satelit itu diluncurkan hanya dalam empat tahun terakhir.


Apa penyebab lonjakan ini? Jawabannya adalah proyek konstelasi satelit, sistem besar yang diluncurkan oleh perusahaan-perusahaan swasta untuk menyediakan layanan internet global. Salah satu perusahaan bahkan telah menempatkan lebih dari 2.000 satelit di orbit, dan memiliki izin untuk meluncurkan lebih dari 40.000 satelit lainnya! Beberapa perusahaan lain juga tak mau ketinggalan, dengan rencana meluncurkan ribuan satelit serupa.


Kemacetan di Orbit Bumi Rendah (LEO): Ancaman yang Semakin Dekat


Berbeda dengan generasi satelit sebelumnya yang ditempatkan di orbit tinggi, sebagian besar satelit baru kini berada di orbit rendah Bumi atau Low Earth Orbit (LEO), yakni antara 80 hingga 2.000 kilometer di atas permukaan Bumi. Orbit ini dipilih karena memiliki keunggulan dalam kecepatan sinyal komunikasi. Namun, sisi buruknya adalah meningkatnya kepadatan lalu lintas satelit.


Di LEO, benda-benda mengorbit dengan kecepatan hingga 28.000 km/jam. Dalam kondisi seperti ini, satu tabrakan saja bisa menghasilkan ribuan serpihan kecil yang berpotensi menabrak satelit lain. Fenomena ini dikenal sebagai Kessler Syndrome, sebuah skenario berantai di mana tabrakan terus-menerus menciptakan lebih banyak puing hingga akhirnya membuat orbit tertentu tidak bisa digunakan lagi.


Gangguan Serius terhadap Penelitian Ilmiah


Kepadatan satelit di orbit sudah mulai mengganggu penelitian luar angkasa. Contohnya, teleskop luar angkasa Hubble yang mengorbit di ketinggian sekitar 535 kilometer, telah mengalami gangguan hingga 8% pada citra yang diambilnya akibat bayangan satelit yang melintas.


Bahkan, Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS) yang berada di ketinggian sekitar 400 kilometer juga berada dalam jalur orbit yang sibuk. Gangguan ini tidak hanya membahayakan keselamatan para awak di dalamnya, tetapi juga berpotensi menghambat misi ilmiah yang penting bagi umat manusia.


Dampak Lingkungan yang Tak Terduga


Masalah lingkungan luar angkasa kini mulai menjadi perhatian serius. Ribuan potongan puing yang ukurannya lebih dari 10 cm telah dipantau oleh sistem pengawasan global. Tapi yang lebih mencemaskan, ada sekitar 130 juta potongan kecil yang hampir tidak mungkin dilacak, mengorbit di sekitar Bumi. Puing-puing ini berasal dari satelit yang rusak, bagian roket yang terlepas, serta tabrakan tak disengaja.


Di sisi lain, proses peluncuran satelit juga menimbulkan emisi dan zat kimia dari bahan bakar roket yang dapat mencemari atmosfer atas. Ketika satelit habis masa pakainya dan masuk kembali ke atmosfer, pembakarannya bisa melepaskan zat yang dapat memengaruhi komposisi udara. Meski dampak jangka panjangnya masih diteliti, para ahli sepakat bahwa dibutuhkan pedoman dan teknologi yang lebih baik untuk meminimalkan kerusakan lingkungan.


Regulasi Masih Tertinggal: Siapa yang Bertanggung Jawab?


Saat ini, belum ada hukum internasional yang benar-benar mengatur siapa boleh menempati ruang di orbit dan seberapa banyak. Diskusi memang sedang berlangsung di tingkat global, khususnya melalui lembaga PBB yang fokus pada urusan luar angkasa. Namun prosesnya lambat, sementara peluncuran satelit terus berlangsung dalam kecepatan tinggi dan tanpa koordinasi yang memadai antarnegara maupun perusahaan.


Tanpa pedoman yang jelas, orbit di sekitar Bumi bisa menjadi kacau dan membahayakan. Dampaknya? Kerugian investasi, layanan yang terganggu, hingga potensi bahaya bagi keselamatan manusia.


Solusi: Teknologi Berkelanjutan dan Kerja Sama Global


Permintaan terhadap teknologi satelit akan terus meningkat. Namun, kemajuan ini harus diiringi dengan tanggung jawab. Beberapa langkah penting yang bisa diambil antara lain:


- Mengembangkan pesawat peluncur yang bisa digunakan kembali


- Mendesain satelit yang dapat melakukan deorbit otomatis setelah masa pakainya habis


- Membangun sistem pelacakan satelit bersama antarnegara dan perusahaan


- Mendorong transparansi dalam peluncuran dan pergerakan satelit


Langit mungkin tampak luas, tetapi kapasitas orbit Bumi punya batas. Semakin banyak satelit yang diluncurkan, semakin mendesak kebutuhan untuk mengelola ruang angkasa dengan bijak. Langkah preventif dan kolaboratif bukan hanya akan menjaga keberlangsungan teknologi komunikasi dan navigasi, tapi juga menyelamatkan Bumi dari ancaman yang berasal dari luar angkasa.