Badak putih utara (Ceratotherium simum cottoni) merupakan salah satu subspesies badak yang kini berada di ambang kepunahan.
Spesies megafauna ini pernah menghuni padang rumput Afrika Tengah dengan populasi besar yang tersebar di Uganda, Sudan, Chad, dan Republik Afrika Tengah. Namun, perburuan liar yang tak terkendali serta konflik bersenjata di wilayah tersebut selama beberapa dekade terakhir menyebabkan populasi mereka merosot drastis.
Pada puncaknya di abad ke-20, badak putih utara menjadi sasaran utama perburuan karena tanduknya yang sangat berharga di pasar gelap. Tanduk badak sering digunakan untuk tujuan medis tradisional dan simbol status di beberapa budaya Asia. Perburuan besar-besaran yang terjadi selama tahun 1970-an dan 1980-an, ditambah ketidakstabilan politik di Afrika Tengah, menciptakan situasi yang hampir mustahil bagi kelangsungan hidup spesies ini.
Pada tahun 2008, badak putih utara dinyatakan punah di alam liar. Hanya delapan ekor yang tersisa, semuanya berada di penangkaran di kebun binatang Dvůr Králové, Republik Ceko, dan San Diego Zoo, California. Dalam waktu satu dekade, populasi ini terus menyusut hingga hanya tersisa dua individu betina, Najin dan Fatu, yang saat ini tinggal di Ol Pejeta Conservancy, Kenya, di bawah pengawasan ketat untuk melindungi mereka dari ancaman perburuan liar.
Upaya Penyelamatan yang Bersejarah
Menjelang kepunahan total, pada tahun 2009, empat badak putih utara dipindahkan dari kebun binatang ke Ol Pejeta Conservancy. Dua badak jantan, Sudan dan Suni, bersama dua betina, Najin dan Fatu, diharapkan dapat berkembang biak di lingkungan yang lebih alami. Namun, upaya ini gagal karena berbagai faktor, termasuk infertilitas dan komplikasi kesehatan.
Pada tahun 2018, dunia dikejutkan oleh kabar duka ketika Sudan, badak putih utara jantan terakhir di dunia, meninggal dunia akibat komplikasi kesehatan. Dengan kematian Sudan, peluang reproduksi alami untuk spesies ini pun hilang. Kejadian ini menandai momen kritis dalam upaya konservasi badak putih utara.
Masa Depan yang Bergantung pada Teknologi
Saat ini, hanya tersisa Najin dan Fatu, kedua betina yang tidak mampu melahirkan karena usia dan kondisi kesehatan mereka. Untuk itu, konservasionis beralih ke metode ilmiah yang lebih maju, seperti fertilisasi in vitro (IVF), untuk menyelamatkan spesies ini. IVF memungkinkan embrio dibuat di laboratorium dengan menggunakan sel telur dari Najin dan Fatu serta sperma beku dari Sudan dan Suni yang telah dikumpulkan sebelumnya.
Para ilmuwan menghadapi tantangan besar dalam proses ini. Salah satu kendala utama adalah memastikan bahwa embrio yang dihasilkan dapat berkembang dalam rahim ibu pengganti. Karena Najin dan Fatu tidak dapat menjadi induk, para ahli menggunakan badak putih selatan, subspesies yang masih memiliki populasi lebih besar, sebagai ibu pengganti.
Langkah Menuju Pemulihan
Pada tahun 2019, terobosan penting tercapai ketika para ilmuwan berhasil menciptakan beberapa embrio badak putih utara yang sehat. Namun, ini baru awal dari perjalanan panjang. Embrio tersebut kini disimpan dalam kondisi beku hingga teknologi yang lebih baik tersedia untuk menanamkan embrio tersebut ke rahim ibu pengganti.
Selain itu, tim peneliti juga memanfaatkan teknologi biologi molekuler untuk mendukung konservasi badak putih utara. Misalnya, pengembangan sel induk dari materi genetik badak yang telah meninggal. Pendekatan ini diharapkan dapat membuka peluang lebih besar untuk memperbanyak populasi badak putih utara di masa depan.
Harapan dari Masa Lalu
Satu hal yang memberikan harapan adalah kisah sukses konservasi badak putih selatan, kerabat dekat badak putih utara. Pada awal abad ke-20, populasi badak putih selatan juga hampir punah akibat perburuan liar. Namun, berkat upaya konservasi yang intensif, populasi mereka berhasil meningkat menjadi sekitar 20.000 ekor di alam liar saat ini.
Kisah ini menjadi inspirasi dan motivasi bagi para ilmuwan serta konservasionis bahwa badak putih utara mungkin juga bisa diselamatkan. Namun, situasi saat ini lebih kompleks karena hanya dua individu betina yang tersisa, tanpa peluang reproduksi alami.
Tantangan dan Kolaborasi Global
Menyelamatkan badak putih utara membutuhkan kolaborasi internasional, dedikasi yang tinggi, dan pendanaan yang besar. Selain itu, teknologi yang digunakan harus terus berkembang untuk mengatasi kendala-kendala dalam proses reproduksi buatan. Tidak hanya itu, upaya untuk melindungi habitat alami mereka di Afrika Tengah juga menjadi prioritas penting agar badak putih utara yang mungkin lahir di masa depan memiliki tempat yang aman untuk kembali.
Menyelamatkan Masa Depan Badak Putih Utara
Perlombaan melawan waktu sedang berlangsung. Dunia tidak bisa hanya menjadi saksi bisu kepunahan salah satu spesies megafauna terbesar ini. Dua individu terakhir dari subspesies ini, Najin dan Fatu, menjadi simbol perjuangan konservasi global. Dengan kemajuan teknologi dan semangat yang tak kenal lelah dari para ilmuwan serta konservasionis, ada harapan bahwa suatu hari nanti badak putih utara dapat kembali menghuni padang rumput Afrika yang menjadi rumah mereka selama ribuan tahun.
Namun, perjalanan ini masih panjang dan penuh tantangan. Generasi mendatang mungkin akan menilai bagaimana dunia saat ini bertindak untuk melindungi warisan alam yang tak ternilai ini. Semoga upaya yang sedang berlangsung akan menjadi bukti bahwa manusia dapat berbuat lebih baik untuk menjaga keberlangsungan hidup spesies-spesies langka di planet ini.